Blog Posts » General » Metode Filsafat
Metode Filsafat
METODE FILSAFAT
Metode dan Objek Filsafat. Dalam filsafat, metode dan objek formal filsafat tidak terpisahkan. Masing-masing aliran filsafat menentukan objek formalnya. Dengan demikian, aliran filsafat menentukan metode dan logikanya sendiri. Setiap aliran filsafat mempunyai kemandirian dalam bidang ilmiahnya. Kemandirian itu menyebabkan bahwa filsafat menjelaskan, mempertanggungjawabkan dan membela metode yang dipakainya.
Filsafat mengajukan claims of discovery of the correct method[ii]. Tapi di pihak lain sering kali ada perbedaan mendasar antara apa yang benar-benar dikerjakan seorang filsuf, dan tuntutan metodologisnya.
Pemakaian metode ilmiah umum. Meskipun filsafat mempunyai metodenya sendiri, dengan sendirinya filsafat memakai unsur-unsur metode umum. Setiap paham filsafat menerapkan unsur metodologi umum ini menurut caranya sendiri. Ada beberapa tekanan yang nampak dalam paham filsafat. Segi subjektif: rasionalisme, pragmatisme, fenomenologi, positivisme, empirisme. Segi objektif: realisme, idealisme, materialisme, monisme dan lainnya.
Metode-metode Filsafat. Dalam sejarah filsafat, banyak metode yang telah dikembangkan. Beberapa metode filsafat yang sempat tercatat dalam sejarah filsafat adalah sebagai berikut.
METODE REDUCTIO AD ABSURDUM
Metode ini dikembangkan oleh Zeno, salah seorang murid Parmenides. Zeno sering disebut sebagai Bapak Metafisika Barat yang pertama. Metode ini adalah metode yang ingin meraih kebenaran, dengan membuktikan kesalahan premis-premis lawan, yang caranya dengan mereduksi premis lawan menjadi kontradiksi sehingga kesimpulannya menjadi mustahil. Inilah reductio ad absurdum.
Zeno mengikuti argumentasi Parmenides tentang monisme realitas. Argumentasi Zeno ini dipakai untuk mempertahankan serangan dari ide pluralisme. Zeno mengatakan seandainya ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan B, berarti kita harus mengakui adanya titik-titik yang tak terbatas di antara A dan B. Jika titiknya tak terbatas, jarak tak terbatas antara A dan B tidak mungkin tercapai. Tapi jika ada orang yang bisa berjalan dari A ke B, itu berarti jarak A dan B dapat dilintasi. Jika A ke B bisa dilintasi berarti jarak A dan B terbatas. Jadi jika kita menarik hipotesis mula yang mengatakan bahwa ada banyak titik yang terdapat di antara titik A dan titik B adalah salah. Maka, pluralitas adalah absurd, mustahil dan tidak masuk akal.
Parmenides pernah mengatakan bahwa tidak ada ruang kosong, yang berarti bahwa yang ada tidak berada dalamada yang lain karena yang ada pasti mengisi seluruh tempat. Zeno melengkapi argumentasi itu dengan pernyataan: jika ada ruang kosong, ruang kosong itu berada dalam ruang kosong yang lain dan ruang kosong yang lain itu berada dalam ruang kosong yang lain pula dan seterusnya sampai tak terbatas. Itu artinya akan ada senantiasa ruang dalam ruang. Oleh karena itu, jika dikatakan bahwa yang ada berada dalam ada yang lain, jelas bahwa pernyataan itu tidak benar. Yang benar adalahyang ada tidak berada dalam ada yang lain. Tegasnya, ruang kosong itu tidak mungkin berada dalam ruang kosong yang lain karena yang ada itu senantiasa mengisi seluruh tempat sehingga hipotesis yang mengatakan bahwa ruang kosong itu ada adalah suatu yang mustahil.
Zeno menambahkan jika ruang kosong itu tidak ada, berarti gerak tidak ada. Ini karena jika dikatakan bahwa gerak itu ada, berarti bahwa ruang kosong harus ada karena gerak dimungkinkan jika ada ruang kosong. Zeno membuktikan hal itu dengan empat contoh terkemuka: dikotomi paradoks, Akhiles - si pelari, Anak panah dan Benda yang bergerak bertentangan[iii].
Metode Zeno ini memberikan nilai abadi bagi filsafat karena tidak ada pernyataan yang melahirkan pertentangan yang dianggap benar. Hukum tidak ada pertentangan ini merupakan prinsip fundamental dalam logika. Metode Zeno ini berguna dalam orasi dan perdebatan yang rasional dan logis. Zeno adalah orang pertama yang juga menggunakan metode dialektik, dalam arti bahwa orang mencari kebenaran lewat perdebatan dan bersoal secara sistematis.
METODE MAIEUTIK DIALEKTIS KRITIS INDUKTIF
Metode Maieutik dikembangkan oleh Sokrates. Dalam sejarah filsafat Yunani, Sokrates adalah salah satu filsuf yang terkemuka. Hanya sayang, dia tidak pernah meninggalkan bukti otentik yang bisa dianggap sebagai karya asli Sokrates. Karya Sokrates didapatkan dari beberapa karya Plato dan Aristoteles. Tapi pemikiran Sokrates yang berhasil direkam hanya bisa dilihat dari karya Plato, terutama dalam dialog-dialog yang pertama, yang sering disebut dengan dialog Sokratik[iv].
Pemikiran Sokrates berpusat pada manusia. Refleksi filosofis Sokrates berangkat dari kehidupan sehari-hari. Jadi, menurut Sokrates melihat bahwa kehidupan sehari-hari sebagai kebenaran objektif. Sokrates dalam filsafatnya menolak subjektivisme dan relativisme aliran sofisme. Kebenaran objektif yang dicapai bukan sekedar didapatkan dari pengetahuan teoritis tapi justru dari kebajikan manusia. Filsafat Sokrates adalah upaya untuk mencapai kebajikan. Kebajikan harus nampak dan mengantar manusia kepada kebahagiaan sejati. Jadi, pengetahuan dan kebenaran objektif selalu menghasilkan tindakan yang benar secara objektif pula. Dan, disitulah kebahagiaan sejati dapat diraih.
Untuk mencapai objektivitas maka diperlukan metode yang sesuai. Sokrates percaya bahwa pengetahuan akan kebenaran objektif itu tersimpan dalam jiwa setiap orang sejak masa praeksistensinya. Oleh sebab itu, filsafat Sokrates tidsak mengajarkan kebenaran tapi hanya menolong orang mencapai kebenaran. Filsafat menolong manusia melahirkan kebenaran seperti layaknya ibu melahirkan bayinya. Maka, tugas filsafat adalah tugas untuk menjadi bidan yang menolong manusia melahirkan kebenaran. Metode itu disebut dengan metode teknik kebidanan (maieutika tekhne).
Metode kebidanan ini diperoleh dengan percakapan (konversasi). Sokrates selalu berfilsafat justru dalam percakapan. Lewat percakapan, Sokrates melihat ada kebenaran-kebenaran individual yang bersifat universal. Sampai taraf tertentu, percakapan ini akan menghasilkan persepsi induktif yang nantinya akan dikembangkan oleh filsuf yang lain.
Dalam dialog, Sokrates melibatkan diri secara aktif dalam memanfaatkan argumentasi rasional dengan analisis yang jelas atas klasifikasi, keyakinan dan opini yang melahirkan kebenaran. Percakapan kritis ala Sokrates bisa membimbing manusia untuk bisa memilah dan menemukan kebenaran yang sesungguhnya.
Metode percakapan kritis yang dilakukan Sokrates juga disebut dengan metode dialektis. Sementara yang lain, beranggapan bahwa metode dialektis bisa disebut dengan metode interogasi.
METODE DEDUKTIF SPEKULATIF TRANSENDENTAL
Metode ini dikembangkan oleh Plato, murid dari Sokrates. Plato meletakkan titik refleksi pemikiran filosofisnya pada bidang yang luas, yaitu ilmu pengetahuan. Dari sekian banyak cabang ilmu pengetahuan, Plato menitikberatkan perhatiannya pada ilmu eksakta. Dari titik refleksi filosofis ini lahirlah penalaran deduktif yang terlihat jelas melalui argumentasi-argumentasi deduktif yang sistematis[v].
Dasar seluruh filsafat Plato adalah ajaran ide. Ajaran ide Plato ini melihat bahwa idea adalah realitas yang sejati dibandingkan dengan dunia inderawi yang ditangkap oleh indera. Dunia idea adalah realitas yang tidak bisa dirasa, dilihat dan didengar. Idea adalah dunia objektif dan berada di luar pengalaman manusia. Pengetahuan adalah ingatan terhadap apa yang telah diketahui di dunia idea. Sistem pengetahuan Plato semacam ini bersifat transendental spekulatif.
METODE SILOGISME DEDUKTIF
Metode ini dikembangkan oleh Aristoteles. Aristoteles menyatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan yang benar, yaitu metodeinduktif dan deduktif[vi]. Induksi adalah cara menarik kesimpulan yang bersifat umum dari hal yang khusus. Deduksi adalah cara menarik kesimpulan berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tak diragukan lagi. Induksi berawal dari pengamatan dan pengetahuan inderawi. Sementara, deduksi terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi.
Aristoteles dalam filsafat Barat dikenal sebagai Bapak Logika Barat. Logika adalah salah satu karya filsafat besar yang dihasilkan oleh Aristoteles.
Sebenarnya, Logika tidak pernah digunakan oleh Aristoteles. Logika dimanfaatkan untuk meneliti argumentasi yang berangkat dari proposisi-proposisi yang benar, yang dipakainya istilah analitika. Adapun untuk meneliti argumentasi-argumentasi yang bertolak dari proposisi-proposisi yang diragukan kebenarannya, dipakainya istilah dialektika.
Inti logika adalah silogisme. Silogisme adalah alat dan mekanisme penalaran untuk menarik kesimpulan yang benar berdasarkan premis-premis yang benar adalah bentuk formal penalaran deduktif. Deduksi, menurut Aristoteles, adalah metode terbaik untuk memperoleh kesimpulan untuk meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Itulah metode silogisme deduktif.
Silogisme adalah bentuk formal deduksi. Silogisme mempunyai tiga proposisi. Proposisi pertama dan kedua disebut premis. Proposisi ketiga disebut kesimpulan yang ditarik dari proposisi pertama dan kedua. Tiap proposisi mempunyai dua term. Maka, setiap silogisme mempunyai enam term. Karena setiap term dalam satu silogisme biasa disebut dua kali, maka dalam setiap silogisme hanya mempunyai tiga term. Apabila proposisi yang ketiga disebut kesimpulan, maka dalam proposisi yangketiga terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut term minor. Predikat kesimpulan disebut term mayor. Term yang terdapat pada dua proposisi disebut term tengah.
Pola dan sistematika penalaran silogisme-deduktif adalah penetapan kebenaran universal kemudian menjabarkannya pada hal yang lebih khusus.
METODE INTUITIF-KONTEMPLATIF MISTIS
Metode ini berkembang dengan ide Plotinos dengan ajaran Neo-Platonisme. Filsafat Plotinos adalah kulminasi dan sintesa definitif aneka ragam filsafat Yunani. Filsafat Plotinos mengambil ide dasar pemikiran Plato. Pemikiran Plato mengenai ide kebaikan sebagai ide yang tertinggi dalam dunia ide. Tetapi, tidak berarti pemikiran Plotinos tidak murni.
Ide kebaikan dalam ajaran Plotinos disebut sebagai to hen(yang esa/the one). Yang Esa meruapakan yang awal atau yang pertama, yang paling baik, yang paling tinggi dan yang kekal. Yang esa tidak dapat dikenali oleh manusia karena hal itu tidak dapat dibandingkan atau disamakan dengan apa pun juga. Yang Esa merupakan pusat daya dan pusat kekuatan. Seluruh realitas memancar keluar dari pusat itu. Proses pancaran dari To Hen disebut Emanasi.Meskipun melalui proses emanasi, eksistensi Yang Esa tidak berkurang atau berubah.
Pancaran pertama, menurut Plotinos, disebut nous. Nous disebut juga budi, roh, atau akal. Nous berada paling dekat dengan To Hen. Nous adalah gambaran atau bayangan To Hen. Setelah nous muncul apa yang disebut dengan psykhe atau jiwa. Psykhe terletak di perbatasan antara nous dan materi. Psykhe adalah penghubung antara roh dan materi. Jadi dapat dikatakan pula bahwa psykhe adalah penghubung dan penggabungan antara yang rohani dengan yang jasmani. Psykhe kemudian disusul oleh Me Onatau materi/zat sebagai aliran lingkaran ketiga. Me On hanya merupakan potensi atau suatu kemungkinan bagi perwujudan suatu keberadaan dalam suatu bentuk. Psykhe bertemu dengan materi menghasilkan tubuh, yang pada hakikatnya berlawanan dengan nous dan To Hen.
Perlawanan dalam tubuh ini menghasilkan penyimpangan. Ini berarti penyimpangan terhadap kebenaran. Untuk kembali kepada kebenaran maka manusia harus kembali kepada To Hen dan menyatu dengannya. Inilah yang menjadi tujuan manusia. Jika dalam proses emanasi, manusia meninggalkan terang dan kebenaran mutlak masuk ke dalam kegelapan mutlak. Maka untuk mencapai kebenaran dan terang mutlak, manusia harus menempuh jalan kontemplasi. Kontemplasi merupakan jalan pembersihan untuk bersatu dengan kebenaran mutlak. Manusia harus berani berpikir sebaliknya, yaitu tidak memikirkan hal inderawi. Hal inderawi menjadi penghalang dalam proses pemersatuan manusia dengan To Hen. Kontemplasi adalah proses pembersihan jiwa manusia yang merupakan kondisi bagi kesatuan mistis dengan To Hen.
Filsafat Plotinos tidak berhenti pada ajaran. Tapi ajaran Plotinos mengarah pada suatu cara hidup. Ini berarti bahwa ajaran Plotinos tidak berhenti pada masalah benar tidaknya ajaran yang disampaikan tapi lebih dari itu, ajaran Plotinos harus mengarah pada suatu sikap hidup yang tidak terikat pada hal duniawi. Itulah sebabnya ajaran Plotinos sering disebut ajaran yang kontemplatif-mistis.
METODE SKOLASTIK: SINTETIS-DEDUKTIF
Filsafat Skolastik menemukan puncak kejayaannya waktu Thomas Aquinas menjadi filsuf pokoknya. Filsafat skolastik dikembangkan dalam sekolah-sekolah biara dan keuskupan. Para filsuf skolastik tidak memisahkan filsafat dari teologi kristiani. Jadi dapat dikatakan bahwa filsafat integral dalam ajaran teologi.
Gaya filsafat abad pertengahan adalah sintesa ajaran filsafat sebelumnya. Sistem skolastik mengarah pada jalan tengah ekstrem-ekstrem ajaran filsafat waktu itu. Sintesa filsafat skolastik terdiri dari ajaran neoplatonis, ajaran Agustinus, Boetius, Ibn Sina, Ibn Rushd dan Maimonides. Selain ajaran-ajaran di atas, aliran filsafat pokok yang dianut oleh filsuf skolastik, terutama Thomas Aquinas adalah filsafat Aristotelian. Filsafat Aristoteles memberikan perspektif baru mengenai manusia dan kosmos. Thomas Aquinas mendasarkan filsafatnya pada filsafat Aristotelian terutama dalam ajaran potentia dan actus.
Prinsip metode skolastik adalah sintesis-deduktif. Prinsip ini menekankan segi yang sebenarnya terdapat pada semua filsafat dan ilmu. Prinsip deduktif adalah prinsip awal dari filsafat skolastik. Bertitik tolak dari prinsip sederhana yang sangat umum diturunkan hubungan-hubungan yang lebih kompleks dan khusus. Di dunia barat sudah lama dikenal prinsip logika Aristoteles. Prinsip logika ini diintegrasikan dengan prinsip ajaran neoplatonis dan agustinian. Prinsip aristotelian mengenai nova logicamendapatkan koreksi dan tambahan pada ajaran neoplatonis. Metode-metode itu diinterpretasikan dengan cara dan gaya lebih baru yang dikembangkan oleh Thomas Aquinas.
Thomas Aquinas pertama-tama mengolah filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mencoba mengkritisi ajaran aristotelian dengan prinsip ajaran tersebut. Thomas menambah problematika filsafat aristotelian. Demikian juga, Thomas memperlakukan filsafat Plato yang diwakili oleh pemikiran Agustinus[vii].
Pemikiran Thomas Aquinas selalu mengarah bahwa pemikiran filosofis ditetapkan oleh evidensi. Inilah sebabnya pemikiran Thomas tidak selalu bersifat kompilatif dan eklektisisme tapi mengarah pada otonomi pemikiran.
Thomas dalam epistemologinya menyebutkan bahwa semua pengertian manusia selalu melalui pencerapan. Ini berarti bahwa pada suatu saat pemikiran Thomas juga bersifat mengandalkan kenyataan inderawi. Landasan pemikiran Thomas selalu mengandaikan pengamatan inderawi yang bersifat pasti dan sederhana. Maka sering pula pemikiran Thomas bersifat reflektif-analitis. Pengamatan dan analisa fakta-fakta adalah dasar kuat bagi sintesa Thomas Aquinas.
METODE SKEPTISISME
Metode Skeptisisme ini dikembangkan oleh Rene Descartes. Dalam bidang matematika, Rene Descartes memadukan prinsip geometri dan aritmatika dengan menggunakan prinsip rumus aljabar yang kemudian dikenal dengan koordinat kartesian.
Awal filsafat Descartes adalah kebingungan. Filsafat begitu beragam dan dianggap Descartes sebagai ilmu yang simpang siur serta penuh dengan kontradiksi. Dalam kebingungannya, Descartes merasa harus berbuat lebih untuk penyempurnaan filsafat. Ia mencoba menyusun ilmu induk yang mengatasi seluruh ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah yang bersifat umum dan cocok digunakan dalam segala ilmu. Logika Aristoteles tidak bermanfaat karena lewat logika itu tidak tercapai pengetahuan yang baru. Descartes mencoba untuk melepaskan diri dari ajaran-ajaran tradisional agar ia bisa memperbaharui filsafat dan ilmu pengetahuan.
Descartes menulis dua buku monumental, yaitu Discourse on Method dan Meditations. Dalam dua buku itu, Descartes membentangkan prinsip-prinsip filsafatnya. Penjelasan Descartes dimulai dengan prinsip keraguan atau kesangsian kartesian. Sebuah pengetahuan baru adalah pengetahuan yang kebenarannya tidak dapat diragukan. Pengetahuan sejati dimulai dari kepastian. Titik tolak pengetahuan yang benar adalah titik pengetahuan yang tidak dapat diragukan atau disangsikan. Dasar pengetahuan adalah kepastian. Kepastian itu adalah kondisi tak bersyarat dan tidak tergantung dari hal yang dipelajari dan dialami karena segala sesuatu yang dipelajari dan dialami sewaktu-waktu dapat berubah. Perubahan menandakan ketidakpastian.
Kepastian hal yang benar-benar pasti dan ada dapat dicapai dengan meragukan dan menyangsikan segala sesuatu. Bila sesuatu itu bisa bertahan atas segala keraguan radikal maka sesuatu itu bisa disebut dengan kebenaran yang pasti. Inilah yang disebut dengan kebenaran filsafat yang pertama dan terutama.
Setelah meragukan segala sesuatu, Descartes menemukan ada satu hal yang tak dapat diragukan lagi, saya yang sedang menyangsikan semua hal, sedang berpikir, dan jika saya sedang berpikir itu berarti tidak dapat diragukan lagi bahwa saya pasti ada. Maka muncullah istilah Je Pense, donc Je Suis. Descartes berpendapat manusia harus menjadi titik berangkat pemikiran yang rasional. Untuk mencapai kebenaran, rasio harus berperan semaksimal mungkin.
Maka dapat dikatakan pemikiran Descartes sangat bersifat rasional. Analisa konseptual diidentifikasikan lebih dahulu elemen-elemen sederhana. Analisa identifikasi tersebut disintesakan dengan suatu pemahaman struktur realitas dengan memahami hubungan yang perlu di dalam elemen-elemen tersebut yang harus berdiri satu terhadap yang lainnya. Pemanfaatan metode ini menghasilkan desakan ketidakpastian hingga ke batas yang paling akhir dengan membuat keterangan atau fakta yang menopang keyakinan-keyakinan yang telah diterima selama itu menjadi sasaran kritik yang paling tidak kenal kompromi dan menangguhkan setiap pendapat kendati tidak masuk akal tapi sedikit banyak mengandung suatu yang rasional meragukan.
METODE KRITIS-TRANSENDENTAL
Metode kritis transendental dikembangkan oleh Immanuel Kant. Filsafat Kant adalah titik tolak periode baru bagi filsafat barat. Ia mensintesakan dan mengatasi aliran rasionalisme dan empirisme. Di satu pihak, ia mempertahankan objektivitas, universalitas dan kepercayaan akan pengertian, dan di lain pihak ia menerima bahwa pengertian bertolak dari fenomena dan tidak dapat melebihi batas-batasnya. Filsafat Kant menekankan pengertian dan penilaian manusia, bukan dalam aspek psikologis melainkan sebagai analisa kritis. Objektivitas menyesuaikan diri dengan pengertian manusia.
Metode Kant menerima pengertian tertentu yang objektif. Analisa kritis Kant dapat dibedakan dari analisa psikologis yang empirik, analisa logis yang memperlihatkan unsur-unsur isi pengertian satu sama lain, analisa ontologis yang meneliti realitas menurut adanya dan analisa kriteriologis yang hanya menyelidiki relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu, dan objek sejauh itu merupakan fenomena yang ditanggapi.
Metode Kant berpangkal dari keraguan atas kemungkinan dan kompetensi metafisika. Kant meletakkan pengertian dalam dua bagian besar, yaitu pengertian analitis yang selalu apriori, pengertian sintetis yang bersifat korelatif dan inspiratif. Metode Kant juga berpangkal pada pertanyaan metodis mengenai dasar objektivitas pengertian. Dasar rasional objektivitas pengertian memakai dasar analisa transendental. I. Kant menganalisa manakah syarat-syarat minimal yang dengan mutlak harus dipenuhi dalam subjek, supaya memungkinkan objektivitas itu[ix]. Analisa itu disebut deduksi metafisis[x].
METODE IDEALISME-DIALEKTIS
Metode dialektis dikembangkan oleh George Wilhelm Friedrich Hegel. Hegel melawan ajaran filsafat Descartes dan Spinoza. Jalan pikiran Hegel untuk memahami kenyataan adalah mengikuti gerakan pikiran dan konsep. Struktur dalam pikiran adalah sama dengan proses genetis dalam kenyataan. Antara metode dan sistem atau teori tidak dapat dipisahkan. Dan keduanya adalah kenyataan. Dinamika pemikiran Hegel ini disebut dialektis. Dialektika diungkapkan sebagai tiga langkah, yaitu tesis, anti tesis dan sintesis[xi]. Seluruh karya Hegel memperlihatkan gerakan tiga langkah tersebut.
Langkah metodis Hegel dimulai dengan penegasan. Titik tolak Hegel mengambil salah satu pengertian atau konsep yang dianggap jelas. Pengertian dan konsep yang jelas adalah pengertian empiris inderawi. Pengertian tersebut bersifat spontan dan non-reflektif, abstrak, umum, statis dan konseptual. Tapi dalam proses pemikiran, pengertian tersebut mulai kehilangan ketegasannya dan mulai bersifat cair. Maka Hegel mulai pada langkah berikutnya yang biasa disebut pengingkaran.
Langkah pengingkaran adalah usaha mengingkari langkah pertama. Langkah perlawanan itu mencari bentuk alternatif yang bisa ditambahkan dalam pengertian yang dicapai dalam langkah pertama. Maka terjadi proses dialektika pikiran. Konsep atau pengertian yang muncul dalam langkah kedua itu diperlakukan menurut cara yang sama seperti langkah pertama. Setelah menemukan perlawanan konseptual yang berhubungan dengan pengertian pertama maka pengertian dan konsep itu bergerak dinamis.
Dinamika dalam langkah kedua tidak membawa pikiran kembali pada titik pertama. Langkah pertama telah memuat langkah kedua secara implisit (dalam perlawanannya). Jadi dua pengertian konseptual mulai dipikirkan bersama-sama, dan dengan demikian dua konsep itu saling mengisi, memperkaya, memperbaharui. Kedua konsep itu menjadi satu konsep yang lebih padat. Itulah yang disebut langkah sintesis.
Menurut Hegel, perlawanan adalah motor dialektika. Perlawanan adalah jalan atau tahap mutlak yang harus dialami dulu untuk mencapai kebenaran.
METODE EKSISTENSIAL
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang menolak pemutlakan akal budi dan pemikiran konsep abstrak murni. Metode eksistensial berupaya untuk memahami manusia yang berada dalam dunia, yaitu manusia yang berada pada situasi yang khusus dan unik.
Metode eksistensial pertama diungkapkan oleh Kierkegaard. Pemikiran Kierkegaard merupakan reaksi yang terutama tertuju dan bereaksi pada rasionalisme idealis Hegel yang dianggapnya tidak berguna. Dalam filsafat, menurut pemikir eksistensialisme, yang paling penting adalah kebenaran subjektif. Tapi tentu saja tidak berarti setiap keyakinan subjektif adalah kebenaran. Kebenaran selalu bersifat personal dan tidak sekedar proposisional.
Menurut pemikiran eksistensial, kebenaran dicapai dengan partisipasi manusia dalam setiap realitas yang mau diselidiki. Kebenaran hanya dapat ditemukan dalam realitas yang konkret. Secara umum, metode eksistensial adalah kebalikan pemikiran filsafat tradisional. Pemikiran eksistensial selalu menempatkan subjektivitas di atas objektivitas dan nilai lebih perlu daripada fakta.
METODE FENOMENOLOGIS
Peletak dasar metode fenomenologis adalah Edmund Husserl. Salah satu pemikir fenomenologis terkenal adalah Martin Heidegger. Fenomenologi berinspirasi pada pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant antaranoumenal dan phenomenal serta pengembangan kritis teori idealisme Hegel.
Husserl mau menentukan metode filosofis ilmiah yang lepas dari prasangka metafisis. Metode itu harus menjamin filsafat sebagai suatu sistem pengetahuan yang terjalin oleh alasan-alasan sedemikian rupa sehingga setiap langkah berdasarkan langkah sebelumnya secara niscaya.
Pengembangan metode fenomenologis mengarah pada pemusatan perhatian kepada fenomena tanpa praduga. Ungkapan terkenal proses tersebut adalah zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri). Dalam keterarahan ke benda itu, sesungguhnya realitas itu dibiarkan untuk mengungkapkan hakikat dirinya sendiri.
Hakikat fenomena yang sesungguhnya berada di balik yang menampakkan diri. Pengamatan pertama belum tentu sanggup membuat fenomena itu mengungkapkan hakikat dirinya. Karena itu, diperlukan pengamatan kedua yang disebut sebagai pengamatan intuitif. Pengamatan intuitif ini melalui tiga tahap reduksi, yaitu reduksi fenomenologis, eidetis dan transendental[xii].
METODE ANALITIKA-BAHASA
Filsafat analitik adalah aliran filsafat yang berasal dari kelompok filsuf yang menyebut diri mereka sebagaiLingkaran Wina. Filsafat analitik menolak metafisika karena mereka berpendapat bahwa metafisika tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Salah satu tokoh filsuf analitik adalah Ludwig Wittgenstein.
Metode yang digunakan para filsuf analitik berbeda satu dengan yang lain. Tapi yang jelas ada dua aliran besar dalam metode analitika yang berkembang sampai sekarang. Kedua metode itu adalah metode verifikasi dan klarifikasi.
Metode verifikasi dikembangkan oleh gerakan positivisme logis. Salah satu tokoh verifikasi adalah A. Y. Ayer (1910-1970). Ayer mencoba untuk mengeliminasi metafisika berdasarkan prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi Ayer menyatakan bahwa pernyataan benar-benar penuh apabila pernyataan itu dapat diverifikasikan secara sintetik oleh satu atau lebih dari panca indera manusia[xiii]. Ayer membagi verifikasi dalam dua dasar, yaitu verifikasi kuat dan verifikasi lemah.
Metode klarifikasi bersumber pada prinsip-prinsip analisa yang dikembangkan oleh Ludwig Wittgenstein. Wittgenstein yakin bahwa kekacauan dalam filsafat bisa diatasi dengan analisis bahasa. Wittgenstein berpendapat bahwa kalau ada pertanyaan yang diajukan maka harus ada jawaban yang tersedia. Tapi tidak semua pertanyaan mempunyai makna. Agar tidak terjebak dalam persoalan filosofis yang tak bermakna maka harus ada peraturan-peraturan yang mendasar dalam bahasa yang terungkap dalam "permainan bahasa". Wittgenstein menyatakan bahwa manusia harus mendengar apa arti yang terkandung dalam suatu ungkapan bahasa. Maka manusia harus menganalisis bentuk hidup hingga dasar terdalam setiap permainan bahasa[xiv]. Makna ditentukan oleh kata yang digunakan dalam konteksnya. Lewat analisa bahasa, seseorang dapat membuat jelas arti bahasa sebagaimana yang dimaksudkan oleh yang menggunakan bahasa itu. Metode klarifikasi tidak memuat pengandaian filosofis, epistemologis atau metafisis. Analisis bahasa didasarkan semata-mata pada penelitian bahasa secara logis tanpa mendeduksikan sesuatu sehingga pada prinsipnya hanya membuat jelas apa yang dikatakan lewat suatu ungkapan bahasa.
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir kembali di tengah-tengah perkembangan IPTEK yang telah begitu plural. Adapun kepentingan yang begitu mendesak ini adalah meluruskan arah proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya arah pemanfaatannya.
Filsafat ilmu pengetahuan adalah suatu bidang studi mengenai ilmu pengetahuan. Hal ini, karena filsafat itu adalah ilmu pengetahuan yang selalu mencari hakekat, berarti filsafat ilmu pngetahuan berusaha mencari ?keseragaman? daripada ?keanekaragaman? ilmu pengetahuan.
Farmasi sebagai seni dan ilmu dalam penyediaan obat dari bahan alam, dan bahan sintetis yang sesuai untuk didistribusikan, dan digunakan dalam pengobatan dan pencegahan penyakit, hadir di tengah-tengah pluralitas ilmu pengetahuan. Kehadirannya sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang teoritis sampai pada yang praktis teknologis diharapkan senantiasa mengalami pencerahan sesuai tujuan awal dari keberadaannya.
Melihat adanya fenomena yang di dalam proses perkembangannya, farmasi mengalami pergeseran nilai, sehingga diperlukan sebuah rekonstruksi dalam perspektif filsafat ilmu pengetahuan.